PANDEMI Covid-19 benar-benar berpengaruh dalam kehidupan manusia secara global. Salah satu yang paling terdampak ialah aspek pendidikan. Dalam hal ini, yang merasakan imbasnya bukan cuma peserta ajar, guru, institusi pendidikan, ataupun semua sesuatu yang terkait dengan aktivitas sekolah saja, melainkan juga terjadi secara psikologis yang dialami buah hati dan remaja, sebagai seorang individu, juga sebagai seseorang yang sedang menempuh pendidikan.
Dikabarkan dari unicef.org.id bahwa 80 juta buah hati Indonesia mengalami sebuah tantangan kehidupan normal yang baru (era new normal), memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Di antaranya aktivitas pendidikan yang terganggu, perubahan layanan kesehatan, nutrisi, ataupun perlindungan lainnya. Orang tua juga wajib berjuang mempertahankan diri dalam hal finansial, pendampingan pendidikan daring, perlindungan kesehatan buah hati-buah hati mereka, juga wajib bertahan memenuhi kebutuhan lainnya.
Menurut sebagian analisis atas respon beragam kebijakan serta temuan penelitian, UNESCO sudah membuat sebuah dokumen terkait dengan dampak pandemi. Yaitu: 1) Kemiskinan; 2) Pelajaran; 3) Kesehatan; 4) Kesehatan mental pengasuhan dan perlindungan buah hati; 5) Nutrisi, dan; 6) Jalan mendapatkan layanan air bersih, sanitasi, dan kebersihan. Dari enam aspek hal yang demikian, salah satunya ialah dalam hal aktivitas pelajaran. Pada lingkup ini yang paling terlibat dan merasakan pengaruhnya ialah guru dan siswa.
Permasalahan muncul seiring lsp-smkn1ps dengan datang dan meningkatnya pandemi dalam kurun waktu tertentu, yang tentunya benar-benar memengaruhi kwalitas layanan pendidikan oleh guru dan objek pendidikan itu sendiri, ialah siswa. Tidak cuma tentang kwalitas cara kerja transformasi ilmu ataupun upaya memberikan pendidikan karakter yang memisahkan guru-siswa sebab pandemi sehingga ketercapaiannya jauh dari yang diinginkan, akan melainkan ada hal-hal lain yang bisa survive dari pandemi ini, ialah individu yang memiliki semangat tinggi berjuang menjaga kesehatan, memaksimalkan diri, tidak menyerah belajar, dan siap menghadapi beragam kesusahan-kesusahan baru.
Di balik musibah pandemi Covid-19 ada keberkahan bagi yang ”berharap belajar” dari situasi sulit dan tantangan zaman. Kwalitas pendidikan akan terus teruji dengan peningkatan kwalitas para guru yang diikuti para siswanya. Di era disrupsi ini, sudah tidak zaman sekiranya ada guru gaptek (gagap teknologi). Selama pandemi, para guru ”dipaksa” sanggup mendidik di grup kelas dunia maya, membuat media berbasis teknologi sampai menulis rapor memakai aplikasi.
Seketika, apakah situasi sulit teratasi dengan melek teknologi? Rupanya tidak. Masih banyak miskonsepsi pendidikan yang perlu dibenahi. Sejajar dengan konsep ”Merdeka Belajar” yang Mas Menteri Pengajaran canangkan, guru mestinya memahami makna dua kata itu yang berikutnya digunakan. Bagaimana bisa paham sekiranya guru tidak berharap belajar. Bagaimana pula guru bisa ”memerdekakan” diri dan siswanya sekiranya masih memakai contoh pendidikan secara konvensional? Beberapa hal masih menunjukkan adanya ”keengganan” para pendidik pada cara-cara lama, merasa tidak perlu merespon perubahan, dan semangat yang rendah untuk berharap belajar dan memaksimalkan diri seperti berikut.
Pertama, guru tidak pernah melibatkan siswa dalam cara kerja pelajaran. Kedua, mendidik tanpa tahu kemauan dan kemauan siswa. Ketiga, mendidik demi memecahkan konten materi layak kurikulum. Keempat, memberi banyak tugas tanpa tahu pencapaian kemajuan siswa, sudah maju apa belum. Kelima, hobi melakukan penilaian akademik (ulangan) demi isi poin rapor yang belum tentu itu poin orisinil, dan mungkin masih banyak lagi.
Mengutip tulisan Indy Hardono di Arah.com, makna konsep Merdeka Belajar itu tentang pentingnya seorang siswa memiliki ruang yang luas untuk mengolah apa yang dia lihat dan pahami secara bebas untuk dianalisa dan dia ekstraksikan menjadi sebuah ilmu (kompetensi). Pertanyaannya, bagaimana siswa bisa menjadikan konsep Merdeka Belajar hal yang demikian sekiranya gurunya sendiri belum ”merdeka”? Untuk memerdekakan diri, sebagai guru Merdeka Belajar perlu melakukan perubahan pola pikir, di antaranya guru belajar dari kemauan diri sendiri sebab merasa butuh belajar, guru bisa belajar dari siapa saja malah sesama guru (tidak wajib dari spesialis pendidikan) via berbagi praktik baik pendidikan, guru belajar memahami karakter siswanya (bukan cuma belajar How To Strategi, temuan, media pelajaran apa), guru memahami belajar butuh cara kerja (bukan belajar secara instan), dan terakhir, guru butuh kelompok sosial belajar (saling berkolaborasi bukan berkompetisi).
Memang tidak ada guru yang total. ada hanyalah guru yang berharap merefleksi, berharap berubah, dan benar-benar memakai untuk diri dan buah hati didiknya ke arah lebih baik. Dengan adanya itu, kita berharap siswa-siswa kita malah memiliki pemahaman konsep belajar yang benar bahwa belajar itu tidak cuma pada ketika ujian dan belajar itu untuk bisa memecahkan situasi sulit, dan belajar itu disiapkan untuk masa depan.